PERATURAN DAN REGULASI IV
Pokok-pokok pikiran dalam RUU tentang informasi dan transaksi elektronik
(ITE)
UU ITE boleh
disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan
di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga
ada yang sedikit terlewat. Rangkuman singkat dari UU ITE adalah sebagai
berikut:
1. Tanda tangan elektronik
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah
dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda
tangan digital lintas batas).
2. Alat bukti elektronik diakui
seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3. UU ITE berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia
maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
4. Pengaturan Nama domain dan Hak
Kekayaan Intelektual.
5. Perbuatan yang dilarang
(cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
· Pasal 27 (Asusila, Perjudian,
Penghinaan, Pemerasan)
· Pasal 28 (Berita Bohong dan
Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
· Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Teror)
· Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain
Tanpa Izin, Cracking)
· Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan,
Penghilangan Informasi)
· Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan
Membuka Informasi Rahasia)
· Pasal 33 (Virus, DoS)
· Pasal 35 (Pemalsuan Dokumen Otentik /
phishing)
UU ITE adalah
cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk mendukung lancarnya
kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat dan
mengangkat citra Indonesia di level internasional. Upaya pemerintah untuk
menjamin keamanan transaksi elektronik melalui UU ITE ini patut diapresiasi.
Tapi mata dan pikiran juga tetap siaga pada isi peraturan yang berkemungkinan
melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi yang berkualitas dan
kritis.
UU ini telah
jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan
transaksi elektronik. UU ITE malah melangkah jauh dengan mencampuri hak-hak
sipil yang merupakan bagian dari kebebasan dasar yang harus dapat dinikmati
oleh setiap orang yaitu kemerdekaan berpendapat yang dilindungi UU 1945 dan
piagam PBB soal HAM.
Setelah
sedikit proses analisis, ternyata walaupun sudah disahkan oleh legislative,
masih banyak juga yang berpendapat bahwa UU ITE masih rentan terhadap pasal
karet, atau pasal-pasal yang intepretasinya bersifat subjektif/individual.
Memang UU ini tidak bisa berdiri sendiri, dapat dikatakan bahwa UU ini ada
hubungan timbal balik dengan RUU Anti-Pornografi, yang notabene juga sedang
gencar-gencarnya dibahas.
Secara umum, ada beberapa aspek
yang dilindungi dalam UU ITE, antara lain yang pokok adalah:
1. Orang secara pribadi dari
penipuan, pengancaman, dan penghinaan.
2. Sekumpulan
orang/kelompok/masyarakat dari dampak negative masalah kesusilaan, masalah
moral seperti perjudian dan penghinaan SARA.
3. Korporasi (perusahaan) atau
lembaga dari kerugian akibat pembocoran rahasia dan informasi financial juga
exploitasi karya.
Peraturan bank indonesia tentang internet banking
Saat ini
pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh
aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan dimana hampir seluruh proses
penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan secara elektronik (paperless).
Internet
banking merupakan layanan perbankan yang memiliki banyak sekali manfaatnya bagi
pihak bank sebagai penyedia dan nasabah sebagai penggunanya. Transaksi melalui
media layanan internet banking dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Melalui internet banking, layanan konvensional bank yang komplek dapat
ditawarkan relatif lebih sederhana, efektif, efisien dan murah.
Internet
banking menjadi salah satu kunci keberhasilan perkembangan dunia perbankan
modern dan bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dengan internet banking,
keuntungan (profits) dan pembagian pasar (marketshare) akan semakin besar dan
luas. Namun, meskipun dunia perbankan memperoleh manfaat dari penggunaan
internet banking, terdapat pula resiko-resiko yang melekat pada layanan
internet banking, seperti resiko strategik, resiko reputasi, resiko operasional
termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko kredit, resiko pasar dan
resiko likuiditas.
Oleh sebab
itu, Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan perbankan di Indonesia
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan
Manajemen Resiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum agar
setiap bank yang menggunakan Teknologi Informasi khususnya internet banking
dapat meminimalisir resiko-resiko yang timbul sehubungan dengan kegiatan
tersebut sehingga mendapatkan manfaat yang maksimal dari internet banking.
Peraturan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen
risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank
Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet
(Internet Banking)
Pokok-pokok pengaturannya antara
lain sbb:
1. Bank yang menyelenggarakan
kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas
internet banking secara efektif.
2. Penerapan manajemen risiko
tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis
dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan
Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran
dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
3. Pokok-pokok penerapan
manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking
adalah
Upaya yang
dilakukan Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet
fraud di perbankan adalah dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan perundang-undangan,
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia
(SE), yang mewajibkan perbankan untuk menerapkan manajemen risiko dalam
aktivitas internet banking, menerapkan prinsip mengenal nasabah/Know Your
Customer Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi informasinya dalam
rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan menerapkan
transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
Implikasi Pemberlakuan RUU ITE
Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum
atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman
hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para
pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan
kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital
sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Ternyata
banyak hal yang perlu dikritisi pada Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sejatinya, UU No 11/2008 ini
disusun atas dasar motivasi untuk melindungi hak cipta, melindungi transaksi
perdagangan online, melindungi proses transfer perbankan dan perlindungan dari
peretas komputer. Ternyata UU ini mulai memakan korban, dan takbir mulai
terkuak bahwa UU yang mestinya melindungi warga negara ini malah memakan korban
warga yang notabene membiayai pembuatan UU ini melalui pajak yang dibayarkan.
Dampak
terbesar ketika orang tidak memahami UU ini, maka intepretasi yang ada dalam
suatu permasalahan hukum yang berhubungan dengan Internet akan selalu dikaitkan
sehingga akan menjadi rancu. Selain itu, kita harus semakin hati-hati dalam melakukan
apapun dalam dunia maya karena semakin besar celah yang dapat digunakan sebagai
alasan dibenturkan suatu tindakan terhadap aturan ini.
Undang-undang
ini berisikan asas dan tujuan telekomunikasi, penyidikan, penyelenggaraan
telekomunikasi, sangsi administrasi dan ketentuan pidana.
Menurut
undang-undang No. 36 Tahun 1999 mengenai Telekomunikasi pada pasal 38 yang
berisikan “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”.
Pada undang-undang ini lebih terfokus kepada gangguan yang bersifat
infrastruktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi content informasi.
Dengan munculnya undang-undang ini membuat terjadinya perubahan dalam dunia
telekomunikasi.
Jadi UU no.36
tersebut dapat mengatur penggunaan teknologi informasi, karena dalam
undang-undang tersebut berarah kepada tujuan telekomunikasi dan otomatis dapat
sekaligus mengatur penggunaan informasi tersebut sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.
Dalam
undang-undang ini juga tertera tentang penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga
telekomunikasi dapat diarahkan dengan baik karena adanya penyelenggaraan
telekomunikasi tersebut.
Penyidikan dan
sangsi administrasi dan ketentuan pidana pun tertera dala undang-undang ini,
sehingga penggunaan telekomunikasi lebih terarah dan tidak menyimpang dari
undang-undang yang telah ada. Sehingga menghasilkan teknologi informasi yang
baik dalam masyarakat.
Pemerintah Desak DPR Tuntaskan
RUU ITE(01 Januari 2006)
"Cyber
law memang harus secepatnya diterbitkan karena kalau tidak ada payungnya akan
susah untuk mengembangkan industri telematika. Kami akan upayakan UU ITE tahun
ini yang di dalamnya memuat mengenai cyber crime," katanya kemarin. Dia
memaparkan naskah RUU ITE saat ini sudah berada di DPR dan pemerintah terus
memantau perkembangannya termasuk melakukan kontak langsung dengan Komisi I DPR
agar RUU tersebut dijadikan prirotas. Menteri menuturkan pihaknya memberikan
perhatian yang serius terhadap cyber law selain sebagai bagian dari strategi
untuk mempercepat penetrasi telematika juga agar memudahkan untuk menarik
investor. "Selain itu, akibat masih lemahnya perundangan di bidang TI,
saat ini transaksi elektronik dari Indonesia tidak diterima di luar negeri
padahal potensi efisiensinya luar biasa," tandasnya. Demikian pula
masuknya Indonesia dalam priority watch list, kata Sofyan, juga tidak terlepas
dari belum adanya cyber law yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku
di sektor telematika. Sofyan memang cukup aktif memperjuangkan cyber law bahkan
dalam rapat dengan Komisi I DPR beberapa waktu lalu telah mengusulkan agar
lembaga perwakilan tersebut membentuk Pansus RUU ITE untuk mempercepat
disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Maraknya tindak pidana menyangkut transaksi
elektronik, tutur dia, menjadi salah satu alasan pemerintah mendesak
pemberlakuan RUU ITE. Terlebih lagi, lanjut dia, transaksi elektronik memiliki
risiko tinggi dan selama ini banyak sekali terjadi pelanggaran pidananya namun
belum ada satupun aturan hukum yang mengatur persoalan tersebu Terkatung-katung
Jika dilihat prosesnya, pembahasan RUU ITE ini sudah terkatung-katung selama
lebih dari empat tahun sejak dirumuskan. Perjalanan RUU itu menjadi UU
bolak-balik antara pemerintah dan DPR tanpa membuahkan hasil. Pemerintah
terakhir kali memperbaiki RUU ITE pada akhir Agustus melalui rapat kabinet yang
dipimpin Presiden Megawati, dilanjutkan dengan keluarnya Ampres sebagai
pengantar pembahasannya di DPR. Beberapa hal yang diperbaiki antara lain pengaturan
perizinan nama domain dan merek, pengaturan standardisasi sistem keamanan
teknologi informasi di perusahaan serta pihak yang mengeluarkan sertifikasinya.
Penundaan RUU ITE ini menghambat Indonesia masuk dalam peta ecommerce global.
Bahkan Indonesia ditolak masuk ke dalam daftar PayPal penyelenggara payment
gateway di Amerika Serikat (AS). Pemerintah dan pelaku usaha diketahui telah
mencoba melobi ke PayPal, namun tanpa belum adanya cyber law masih dijadikan
alasan oleh pelaku usaha AS untuk menolak melakukan perdagangan online dengan
Indonesia. Lebih fatal lagi karena selain AS, Uni Eropa juga merekomendasikan
negara anggotanya untuk tidak melakukan transaksi elektronik dengan
negara-negara yang belum memiliki cyber law termasuk Indonesia. Dampak negatif tersebut
jika tidak segera diantisipasi bisa berdampak lebih buruk lagi karena Indonesia
juga berpotensi mendapat sanksi pemblokiran jalur (routing) Internet dari
komunitas global akibat belum adanya UU di tengah tingginya kejahatan dunia
maya. Berdasarkan data laporan mengenai kejahatan dunia maya dari Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terjadi lonjakan berupa
penyusupan jaringan serta fraud selama kuartal ketiga dan kuartal keempat 2003.
Selama kuartal terakhir 2003, APJII memperoleh 161 laporan fraud serta lebih
dari 1.000 network incident. (Bisnis Indonesia).
SUMBER :
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128760-T%2026749-Electronic%20signature-Pendahuluan.pdf
Kelompok 1 :
Aditiyo Nugroho
Agung Februanto
David Handoko
Krisanda Triputro
4 komentar:
Nice info gan materinya bagus, saya jadi mengerti.
Nice info boskuh, thanks
Terima kasih infonya.
Thank u infonya jadi lebih tau tentang Peraturan dan Regulasi IV
Posting Komentar
Leave Comment Here